Tinjauan Kisah-kisah Kecil Sejarah

6/10 Andreas Rossi Dewantara 04-11-2014

Dua tahun setelah ia mengangkat kisah hidup KH Hasyim Ashari, Rako Prijanto mengalihkan pandangannya ke Sumatera Utara. Tepatnya di Tanah Karo. Di sana, ada perempuan bernama Likas Tarigan, istri Letjen Djamin Gintings. Dibanding KH Hasyim Asyari, nama Letjen Djamin Gintings mungkin belum begitu dikenal luas masyarakat Indonesia. Bagaimana membikin sebuah film tentang isteri seorang pahlawan nasional yang tak begitu luas dikenal, tanpa tokoh utamanya menjadi bayang-bayang sang suami? Inilah tantangan yang semestinya dijawab oleh Rako Prijanto.

Film 3 Nafas Likas dibuka dengan Hilda (Marissa Anita) berkendara dalam sebuah jip yang menyusuri sebuah perkebunan. Hilda pergi ke perkebunan itu untuk menemui Likas Tarigan (Tutie Kirana) dalam rangka penulisan buku biografi tentang Likas. Sebagai catatan, buku Perempuan Tegar dari Sibolangit karya Hilda Unu-Senduk adalah basis film ini.

Film ini lantas mengajak kita mengikuti perjalanan Likas (sebagaimana dituturkannya sendiri) bersama ketiga “nafas”-nya: ibu (Jajang C Noer), kakak Njoreh Tarigan (Ernest Samudra), dan suaminya Djamin Gintings (Vino G Bastian) dalam tiga potret kehidupannya: kehidupan masa kecilnya di Sibolangit, kehidupannya setelah lulus sekolah guru menjadi istri seorang pejuang, dan kehidupan masa tuanya menjadi isteri pejabat pascaproklamasi kemerdekaan sampai sekarang.

Kita melihat bagaimana Likas menyikapi kodratnya sebagai perempuan, sebagai seorang istri/ibu, dan juga sebagai seorang pejuang—jika definisi pejuang boleh diperlebar. Sedari kecil, Likas berani menentang patriarki. Ia tak ingin mengikuti kodrat perempuan yang di zamannya "diperuntukkan" untuk membantu suami mengurus keluarga, ternak, dan ladang bahkan hingga larut malam ketika para suami bersenang-senang minum tuak. Dengan dukungan ayah (Arswendi Nasution) dan kakaknya, ia ingin bisa mencari uang sendiri dengan menjadi guru, meskipun ibunya menentangnya.

Keinginannya mengangkat martabat perempuan bahkan masih terbawa sampai ia lulus kelak dari sekolah guru, saat ia berpidato dengan berapi-api di pertemuan pemuda Karo. Dengan lantang ia menyuarakan agar perempuan berani menuntut hak-haknya. Pertemuan pun geger, namun ia tak gentar. Dalam pelarian, ia pun pernah memimpin sekelompok wanita dan anak-anak termasuk ibu mertuanya, untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Satu adegan di mana Likas memeluk seorang wanita yang bayinya meninggal karena kedinginan dalam pelarian adalah salah satu momen yang paling kuat dan emosional di film ini. Pengayoman seorang pemimpin dan kelembutan seorang ibu melebur dalam diri Likas pada adegan tersebut.

Melodrama

Namun di paruh kedua film, sayangnya, tokoh Likas seakan hanya menjadi aksesoris sang suami, Djamin. Narasi Likas sebagai wanita yang tahan banting dan independen menjadi pudar oleh “domestikasi” dirinya. Ia direduksi menjadi “hanya” istri seorang pejabat, pengurus suami sepulang kerja dan anak-anaknya –persis yang pernah diutarakan ibunya dulu saat menentang dirinya masuk sekolah guru. Film ini seakan-akan hendak mengawinkan kisah independensi wanita seperti Tjoet Nja' Dhien-nya Eros Djarot, dengan romantisasi istri-sebagai-penyokong-suami a la Habibie & Ainun.

Sayangnya, seperti tren film biopik Indonesia belakangan yang melibatkan sosok wanita (Hijrah Cinta, Habibie & Ainun), 3 Nafas Likas ikutan terjebak dalam gaya melodrama domestik. Yang lebih disesalkan, tak seperti Habibie & Ainun atau Hijrah Cinta di mana tokoh utamanya adalah pria, 3 Nafas Likas sedari awal hendak menghadirkan wanita sebagai pusat film ini. Apa lacur, eksistensi tokoh Likas malah bergantung dengan eksistensi si laki-laki. Ia diceraikan dari pencapaian di luar peran domestiknya.

Mirip film-film Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II tahun 1940-1950-an (misalnya film-film Douglas Sirk), romantic love dan domestic/familial love menjadi sesuatu yang dirayakan pada film-film melodrama domestik. Bila film sejarah (seringkali berlatarbelakang masa perang) selalu menempatkan figur protagonis laki-laki sebagai manusia yang sedang menjalankan petualangan atau kepahlawanannya, maka film-film seperti ini menempatkan wanita sebagai tokoh utama yang berada dalam keadaan ditinggalkan. Kerapuhan wanita menjadi pusat emosional untuk membikin penonton terharu, dan sebisa mungkin keluar dari bioskop dengan mata sembab.

Selalu ada komponen ekses dan ketidakcukupan dalam struktur penceritaan wanita dalam film melodrama. Di satu sisi, wanita menjadi independen dan otonom seperti laki-laki, yang akhirnya membawa konflik karena ia harus melawan keluarganya demi pekerjaan. Di ujung spektrum yang lain, sang wanita memeluk konsep konvensional dari “wanita feminin”sampai pada taraf—meminjam kata-kata Lesley Johnson dan Justine Lloyd, dua profesor penulis buku tentang feminisme dan ibu rumah tangga—living her life through others, dalam hal ini adalah lewat kehidupan sang kekasih/suami atau keluarganya.

Ketakutan Likas berpisah dengan sang suami yang digambarkan berulang-ulang mulai dari suaminya saat masih menjadi pemimpin gerilyawan, sampai saat suaminya sudah menjadi pejabat tinggi mengkonfirmasi sentimen seperti ini. Seperti Kartini pada bagian akhir hidupnya, semangat kepemimpinan, progresivisme, dan kesetaraan di awal-awal kehidupan Likas mulai mengendur pada bagian kedua film ini.  

Hal ini bukannya tak bisa diakali. Ada perjalanan usaha dan karir Likas yang tak difilmkan. Masih belum jelas juga mengapa Rako Prijanto lebih memilih utnuk memfilmkan adegan di mana Likas dilatih etiket a la sekolah kepribadian oleh Ny. Oey (Olga Lydia), daripada misalnya kisah hidup Likas ketika ia menjadi pemilik supplier ayam potong di Bintaro (seperti yang saya baca dari kesaksian beliau di laman Gereja Batak Karo Protestan), atau saat ia menjabat sebagai anggota MPR. Bukankah lebih menarik melihat bagaimana Likas bisa mendirikan PT. Amal Tani, sebuah perkebunan kelapa sawit yang luas di Sumatera Utara, daripada menyaksikan ia kebingungan menghadapi gegar budaya karena ia dan suaminya mendadak menjadi borjuis kecil?

Ada juga dimensi dari seorang Likas sebagai seorang organisator yang begitu teliti yang alpa dieksplorasi oleh Rako (kecuali dalam satu adegan di awal film dan satu lagi di kedutaan besar RI di Kanada. Itu pun hanya disebutkan). Plot di paruh kedua seakan-akan dibuat untuk mengakomodasi perjalanan karir Letjen Gintings yang menanjak cepat (atau justru mengakomodasi tampilnya Vino G Bastian?). Kita dibuat menonton sempalan-sempalan tentang kehidupan Likas yang tak dikembangkan secara dalam, bak nafas yang tersengal-sengal.

Karena itu (sayangnya) film ini pada akhirnya hanyalah menjadi sebuah film melodrama dan bukannya film historis tentang sejarah bangsa atau seorang pahlawan perang, maka sejarah bangsa Indonesia hanya mampir sebagai backdrop. Tak ada tautan atau kontekstualisasi yang menunjukkan signifikansi antara sejarah bangsa ini dengan kehidupan Likas (selain perang membuat hidupnya susah), maupun antara dirinya dengan sejarah bangsa ini. Sejarah yang tunduk pada subjektivitas membuat film ini mengalami dislokasi, ia terasing dari latar belakangnya sendiri, dan akhirnya gagal membuat commentary mengenai sejarah bangsa Indonesia.

Bahkan Djiman Gintings, sebuah representasi karakter bangsa Indonesia pra- dan awal-awal kemerdekaan yang masih kental dengan semangat nasionalisme dan militerisme pun tak berkomentar apa-apa mengenai rezim-rezim tempat ia mengabdi, meskipun Orde Lama dan Orde Baru adalah antitesis. Komentarnya hanyalah sebuah inconvenience: bahwa ia adalah orang militer lapangan, yang tak cocok menjadi pejabat kantoran seperti duta besar.

Memang, Rako Prijanto menunjukkan bahwa tak perlu nama besar untuk bisa menyumbangkan khazanah bagi pengetahuan kita tentang masa lalu bangsa ini yang belum lengkap. Masih ada Likas-Likas lain di luar sana, masing-masing dengan kisah-kisah kecilnya tentang sejarah—entah sebagai antek rezim, entah sebagai korban dari rezim—yang menunggu agar nafasnya terhembus di permukaan. Hanya saja semoga selanjutnya sejarah tak sekedar menjadi backdrop sebuah drama keluarga.